Selasa, 30 Oktober 2012

Mengenal Budaya Bali Lebih Dekat

Dari banyaknya pulau-pulau yang tersebar di kepulauan Indonesia, Bali merupakan pulau yang paling terkenal di dunia internasional. Pulau yang terletak di sebelah Selatan garis khatulistiwa ini memiliki luas wilayah sekitar: panjang 80 km dan lebar 150 km yang menyerupai bentuk ikan. Peradaban mencatat bahwa Bali memiliki mikrokosmos yang luar biasa tentang sejarah, legenda, kesusasteraan, seni, alam, dan manusianya itu sendiri.



Bali merupakan rantai terakhir dari jajaran pulau-pulau tropis yang subur di Indonesia. Di sebelah Timur pulau Bali, sepanjang selat Lombok yang memisahkan Bali dengan pulau Lombok, terlihat garis perbedaan dimana flora dan fauna dari ras sub-tropis berganti menjadi beragam flora dan fauna dari ras Australasia.Dari sisi ekologi, “Australasia” adalah sebuah kawasan yang mempunyai sejarah evolusi yang seragam dan sejumlah flora dan fauna yang hanya dapat ditemukan di kawasan Australia, Pulau Irian dan pulau-pulau di sekitarnya, termasuk Pulau Lombok dan Sulawesi serta pulau-pulau di Indonesia yang berada di sebelah timur kedua pulau tersebut.. Garis bayangan pemisah Australasia dengan Asia adalah Garis Wallace – Kalimantan dan Bali berada di sebelah barat, yaitu di Asia.
Di satu sisi tanah hijau yang subur, di sisi lain tanah coklat; di satu sisi terdapat kera, tupai, berbagai macam burung, di sisi lain terdapat reptil besar dan kakatua. Pulau yang menawan hati ini dibelah oleh sungai, kanal, dan lembah yang dibungkus oleh hutan dan hamparan sawah dengan ujung pantai-pantai yang indah; dihiasi oleh danau yang mengisi sisa kawah gunung berapi, keindahan-keindahan tersebut memperlihatkan sebuah dataran dimana khayalan berpadu dengan kenyataan.

Masyarakat Bali dalam salah satu perayaan keagamaan
Pada abad ke-15 M, ketika kerajaan Majapahit dikalahkan oleh kerajaan Mataram yang bercorak Islam, ratusan orang Jawa-Hindu dari berbagai kelompok; bangsawan, rohaniawan, seniman, cendekiawan dan rakyat biasa yang notabene orang-orang setia Majapahit mengungsi ke pulau tetangga yaitu Bali.
Hal yang menonjol di Bali adalah visi keyakinan yang menginspirasi setiap jiwa yang hidup di Bali untuk memanfaatkan alam dengan bijak; kreatifitas manusianya dalam berbagai bidang seperti: teknik mematung, tarian, arsitektur, musik dan berbagai ekspresi kesenian lainnya.
2.       Kehidupan Sosial dan Budaya


Pandita sebagai strata tertinggi
Tatanan sosial di Bali dibangun atas pembagian strata sosial yang dibagi ke dalam:
1.       Brahma, merupakan strata tertinggi yang diisi oleh para rohaniawan.
2.       Ksatria, merupakan strata yang diisi oleh para bangsawan dan pejabat kerajaan
3.       Waisya, merupakan strata yang diisi oleh para prajurit dan pedagang
4.       Sudra, strata untuk masyarakat biasa.
Meski bergelut dengan hantaman arus globalisasi yang dibawa bersamaan dengan para turis dan pedagang asing, serta derasnya informasi dan teknologi yang masuk, kebudayaan khas yang telah lama mengakar tetap kokoh sebagai ciri khas mereka. Nama masing-masing individu dapat dilihat sebagai penunjuk strata sosial sekaligus eksistensi budaya yang ada di Bali, misal: Ida Bagus atau Ida Ayu merupakan nama yang dipakai oleh para Brahmana, Anak Agung Cokorda atau Dewa merupakan nama yang digunakan oleh para Ksatria, I Gusti merupakan nama yang digunakan bagi para Waisya, dan Wayan, Made, Nyoman, Ketut digunakan oleh para Sudra.
2.1.Upacara Kelahiran (Jatakarma Samskara)
Berbagai upacara dimulai sejak hari sebelum kelahiran, serangkaian larangan bagi ibu yang sedang hamil semisal: tidak boleh makan makanan yang berdarah segar, hukumnya tidak boleh seperti ketika seorang wanita yang sedang menstruasi memasuki kuil; ibu yang sedang hamil tidak diperbolehkan untuk memakan daging kerbau atau babi; ibu yang sedang hamil tidak boleh melihat orang yang terluka atau darah apalagi melihat orang yang meninggal; tapi ibu yang sedang hamil harus diam di rumah dengan upacara penyucian yang memungkinkan kelahirannya berjalan normal. Bapak dari sang bayi diharapkan untuk hadir pada saat hari kelahiran sang bayi untuk menemani sang istri. Ketika sang bayi lahir, sang bapak harus memotong ari-ari dengan menggunakan pisau bambu dan dimasukkan ke dalam kantung yang kemudian dilingkarkan di leher sang bayi di kemudian hari.
Pada hari ke 21 setelah kelahiran sang bayi, menurut kalender Bali, sang bayi akan dipakaikan pakaian, gelang dari emas atau perak sesuai dengan sistem sosial yang ada. Ukuran kedewasaan bagi wanita ditentukan dari waktu pertama kali mengalami menstruasi dan kesiapan untuk menikah.
Upacara kelahiran dan pubertas hanya merupakan pembuka dari serangkaian upacara dan perayaan yang menemani perjalanan setiap kegiatan keseharian masyarakat Bali dari makan sampai menjelang tidur, dari berjalan sampai dengan bertutur kata.

2.2. Upacara Potong Gigi (Mepandes)
Diantara upacara transisi yang dijalankan oleh masyarakat Bali yaitu upacara potong gigi atau disebut juga mepandes, yaitu mengikis gigi bagian atas yang berbentuk taring. Tujuan upacara ini adalah untuk mengurangi sifat buruk (sad ripu). Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).

2.3. Upacara Perkawinan (Pawiwahan)
Upacara transisi penting lainnya adalah pernikahan yang dalam bahasa Bali disebut Pawiwahan. Pawiwahan merupakan upacara persaksian ke hadapan Sang Hyang Widi dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Adapun persiapan-persiapan yang perlu dipersiapkan untuk upacara adalah sebagai berikut:
Sarana
· Segehan cacahan warna lima.
· Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
· Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
· Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
· Pejati.
· Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
· Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
· Bakul.
· Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih
Waktu: Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa).
Tempat: Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hukum adat setempat (desa, kala, patra).
Pelaksana: Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara:
· Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
· Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
· Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan.
2.4. Upacara Kematian (Ngaben)
Upacara kematian yang dilakukan dengan cara kremasi merupakan upacara yang spektakuler dan dramatis karena merupakan rangkaian akhir dari roda kehidupan di bumi. Menurut ajaran Hindu, roh bersifat immortal (abadi) dan setelah bersemayam dalam jasad manusia, akan bereinkarnasi, tapi sebelum bereinkarnasi, roh akan melewati sebuah fase di nirwana dan akan disucikan; dan sesuai dengan catatan kehidupan seseorang di bumi (karma) maka roh akan dikirim ke kasta rendah atau tinggi, dan kremasi merupakan proses penyucian roh dari dosa-dosa yang telah lalu.

‘Bade’, tempat kremasi jenazah berbentuk lembu/sapi
Secara filosofis, di Bali ada beberapa sarana utama yang dipakai dalam upacara kematian (ngaben) sesuai naskah Yama Purwwa Tattwa, di. antaranya : pisang jati sebagai warna, asep sebagai mata, nasi angkeb sebagai mulut, bubur pirata sebagai suara, dukut lepas sebagai dubur, cawan sebagai dahi, daun kayu sugih sebagai hidung, kusa sebagai bulu mata, jawa sebagai alis, pili-pili sebagai ulu hati, panjang ilang sebagai lidah, ending sebagai bibir, don rotan sebagai punggung, asep sebagai gusi, pengawak sebagai tulang belakang, tebu sebagai lengan, cendana sebagai tulang kelingking, rempah-rempah sebagai inti atau sebagai atma. Panyugjug sebagai jalan, panyugjug mameri sebagai penuntun yang paling depan, baju (wastra) sebagai kulit, kain wangsul sebagai telapak kaki, topi sebagai lutut, ganjang/ganjaran berisi uang sebagai tulang lutut, sangku sebagai kantung kemih, kipas sebagai nafas, kotak sebagal daging, tiga sampir sebagai urat, dan gagadhing, emba-embanan sebagai kepala.
Oleh karena itu, masyarakat Bali tidak menganggap kematian sebagai akhir dari segala-galanya namun merupakan sebuah fase kehidupan baru, dan mereka oleh karenanya sering mengucapkan pesan seperti yang tercantum dalam Bhagavadgita yaitu, “the end of birth is death, the end of death is birth” yang berarti akhir dari keidupan adalah kematian dan awal dari kematian adalah kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar